Welcome to Supriyanto Blog

Senin, 20 Mei 2013

KONSEP - KONSEP SOSIOLOGI HUKUM

Berikut ini penjelasan tentang Konsep - Konsep Sosiologi Hukum

1. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Control (Pengendalian Sosial)
Hukum sebagai sosial control : kepastian hukum, dalam artian undang-undang yang dilakukan benar-benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginteraksian tampak dominan, dengan terjadinya beberapa-perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum wajib menjalankan usahanya semaksimal mungkin sehingga konflik-konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat
Pengendalian sosial adalah suatu cara untuk menciptakan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan tercapainya keadilan. Pengendalian sosial terdiri atas semua elemen yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana yang dipaksakan untuk melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.

2. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering
Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam tiap bentuk masyarakat, termasuk pada masyarakat yang sedang mengalami proses pergolakan dan pembangunan. Mencakup kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.
Hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum bisa berperan dalam mengubah bentuk pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.

3. Wibawa Hukum
Melemahnya wibawa hukum seperti yang diutarakan O. Notohamidjoyo, diantaranya disebabkan karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum Negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum.
Dalam artian sebagai berikut :

  • Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
  • Norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
  • Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
  • Pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum negara itu
  • Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hkum yang berlaku

4. Ciri-ciri Sistem Hukum Modern
Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Hukum yang baik harus dapat dimengerti atau dipahami oleh para pihak yang diaturnya.
Ciri-ciri hukum modern :
  • Terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam
  • Sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin
  • Bersifat universal dan dilaksanakan secara umum
  • Adanya hirarkis yang tegas
  • Melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur
  • Rasional
  • Dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman
  • Spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian
  • Hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat
  • Penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya negara memonopoli kekuasaan
  • Perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga negara (eksekutif – legislative – yudicatif)
Ciri manusia modern :
  • Rasional
  • Jujur
  • Tepat waktu
  • Efisien
  • Orientasi ke masa depan
  • Tidak status symbol (gengsi)

5. Suatu kenyataan bahwa hukum hanya diperlukan untuk mereka yang stratanya rendah sedangkan strata tinggi seolah kebal hukum.
Hingga saat ini banyak pelaku kejahatan kelas atas atau yang disebut kejahatan Kerah Putih (White Colour Crime) yang dihukum sangat ringan bahkan tidak sedikit yang divonis bebas, karena mereka memegang kekuasaan dan wewenang yang dapat mengintervensi para penegak hukum, hal ini berakibat bahwa mereka yang berstrata tinggi seolah kebal hukum dan sebaliknya hukum hanya dipergunakan untuk mereka yang berstrata rendah.

6. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi
Merupakan naskah yang berisikan sorotan sosial hukum terhadap peranan sanksi dalam proses efektivikasi hukum. Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Suryono efektifitas dari hukum diantaranya :
a. Hukum itu harus baik
  • Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat)
  • Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang bidang hukum tertentu harus sinkron)
  • Secara filosofis
b. Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku.
c. Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
d. Kesadaran hukum masyarakat
Syarat kesadaran hukum masyarakat :
  • Tahu hukum (law awareness)
  • Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)
  • Paham akan isinya (law acqium tance)
  • Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)
e. Budaya hukum masyarakat
Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku
Cara mengatasinya :
  1. Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
  2. Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
  3. Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan terhadap kerja lembaga lembaga negara.

7. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum
Sadar : dari hati nurani
Patuh : Takut sanksi yang negatif
Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.
Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.
  • kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Indicator kesadaran hukum :
1. pengetahuan hukum
2. pemahaman hukum
3. sikap hukum
4. pola perilaku hukum
  • kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengannn dukungan sosial
Faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum :
  • Compliance, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.
  • Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut
  • Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.
  • Kepentingan-kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada

MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Pengertian masyarakat multikultural (multicultural society): masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dan antara pendukung kebudayaan saling menghargai satu sama lain. Jadi, masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang menganut multikulturalisme, yaitu paham yang beranggapan bahwa berbagai budaya yang berbeda memiliki kedudukan yang sederajat.


Ciri-ciri masyarakat multikultural menurut Pierre van den Berghe :
a. Segmentasi (terbagi) ke dalam kelompok-kelompok.
b. Kurang mengembangkan konsensus (kesepakatan bersama).
c. Sering mengalami konflik.
d. Integrasi Sosial atas paksaan.
e. Dominasi (penguasaan) suatu kelompok atas kelompok lain.

Tipe-tipe masyarakat multikultural :
a. kompetisi seimbang : kelompok-kelompok yang ada mempunyai kekuasaan yang seimbang.
b. mayoritas dominan : kelompok terbesar mendominasi.
Contoh : Indonesia, umat Islam mayoritas dan memegang kekuasaan.
c. minoritas dominan : kelompok kecil yang mendominasi.
d. fragmentasi : masyarakat terdiri dari banyak kelompok yang kecil, tidak ada yang mendominasi.

Bentuk-bentuk multikulturalisme:
a. Multikulturalisme isolasi
b. Multikulturalisme akomodatif
c. Multikulturalisme otonomi
d. Multikulturalisme kritikal/interaktif
e. Multikulturalisme kosmopolitan

Hubungan Struktur Sosial Masyarakat Multikultural dengan Proses Integrasi Sosial

Dalam struktur sosial masyarakat multikultural dapat terjadi proses interseksi sosial dan konsolidasi sosial.

Pengertian interseksi sosial : persilangan keanggotaan masyarakat.
Contoh interseksi sosial :
Keterangan :
A : Suku Jawa                   I  :  Islam
B : Suku Minang               II : Kristen
Penjelasan :
Si A dan B, berbeda suku bangsa tapi sama agamanya.

Contoh interseksi sosial dengan parameter agama dan pendidikan:
Pak Buyung: suku Minangkabau, sarjana, beragama Islam, pengusaha.
Pak Bejo: suku Jawa, sarjana, beragama Islam, Pegawai Negeri Sipil.                                    


Bila terjadi proses interseksi sosial dalam struktur sosial masyarakat multikultural, akan mendukung tercapainya integrasi sosial.
(Interseksi sosial berdampak positif terhadap integrasi sosial)

Pengertian konsolidasi sosial : penguatan keanggotaan masyarakat.
Contoh konsolidasi sosial :
Ikatan Keluarga Minang
Persatuan Masyarakat Betawi

Bila terjadi proses konsolidasi sosial dalam struktur sosial masyarakat multikultural, akan menghambat tercapainya integrasi sosial.
(Konsolidasi sosial, tanpa diiringi  perasaan nasionalisme, berdampak negatif terhadap integrasi sosial.)

Amalgamasi : perkawinan antar ras/suku.
Amalgamasi menyebabkan dalam masyarakat Indonesia dijumpai berbagai ras campuran.

Latar belakang terbentuknya masyarakat multikultural:

a. Bentuk wilayah : negara kepulauan.
Terjadi isolasi geografis yang menyebabkan terjadinya kemajemukan suku bangsa / kemajemukan budaya.

b. Keadaan geografis : letak yang strategis di antara dua samudra dan dua benua.
Orang asing masuk ke Indonesia, dengan penjajahan dan perdagangan, terjadi kemajemukan agama.


c. Perbedaan cuaca dan struktur tanah
Perbedaan cuaca dan struktur tanah menyebabkan terjadinya kemajemukan mata pencaharian.


Pengaruh Terbentuknya Masyarakat Multikultural terhadap Kehidupan Masyarakat

a. Konflik
Kondisi kemajemukan berpengaruh terhadap munculnya potensi : konflik horizontal.


b. Munculnya sikap primordialisme.
Primordialismepaham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak lahir, baik mengenai tradisi, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Contoh perilaku primordial :
a. Membentuk partai politik berdasarkan paham, ideologi, atau keterikatan pada faktor-faktor seperti suku bangsa, agama, dan ras
b. Memberikan prioritas atau perlakuan istimewa kepada orang-orang yang berasal dari daerah, suku bangsa, agama, atau ras tertentu.


Contoh primordial agama (memegang teguh ajaran dan norma agama):
Pengiriman Putri Indonesia ke ajang pemilihan Miss Universe, banyak mengalami penolakan dari para pemimpin agama.

c. Munculnya sikap etnosentrisme.
Etnosentrisme : sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain.

Contoh sikap etnosentrisme
Sudah puluhan tahun keluarga Pak Slamet (suku Jawa) merantau di daerah Bitung, Sulawesi Utara. Selama berinteraksi dengan lingkungan barunya, mereka masih memegang prinsip dan budaya asalnya.


d. Munculnya sikap fanatik dan ekstrem.
Fanatik : sangat kuat meyakini ajaran atau mendukung suatu kelompok.

Kerusuhan antarsuporter sepak bola merupakan contoh negatif perilaku masyarakat multikultural yang didasari : fanatisme.


Ekstrem : fanatik, sangat keras dan teguh
Seorang ekstremis menganggap bahwa hanya pendapat kelompok sendirilah yang benar dan menolak pendapat dari luar kelompoknya. 
Dalam kehidupan multikultural, sikap ekstrem tersebut dapat merusak upaya untuk memperkuat proses : integrasi.

e. Politik Aliran : ideologi nonformal yang dianut oleh anggota organisasi politik dalam suatu negara.
Contoh : partai Islam, partai Kristen

Dampak positif dari berkembangnya politik aliran yang terwujud dengan banyaknya partai politik adalah: beragam saluran aspirasi.

PARADIGMA SOSIOLOGI FAKTA SOSIAL

Durkheim meletakkan landasan paradigma Sisiologi Fakta Sosial melalui karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan suicide (1897). Untuk memisahkan Sosiologi dari pengaruh filsafat dan untuk membantu sosiologi mendapatkan lapangan penyelidikannya sendiri maka Durkheim membangun satu konsep yakni : Fakta Sosial.
Fakta Sosial ini lah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakannya sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat di pahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil dluar pemikiran manusia. Fakta sosial harus diteliti didalam dunia nyata sebagaimana orang mencari barang sesuatu lainya:

Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam:

1.    Dalam bentuk material. Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak. Ditangkap dan di observasi.
2.    Dalam bentuk non material. Yaitu sesuatu yang dianggap nyata (external). Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya egoism, altruism dan opini.

Untuk memisahkan sosiologi dari psikologi, Durkheim dengan tegas pula membedakan antara fakta sosial dengan fakta psikologi. Fakta psikologi adalah fenomena yang dibawa oleh manusia sejak lahir (inherited). Dengan demikian bukan merupakan hasil pergaulan hidup masyararakat. Fakta sosial tidak dapat diterangkan dengan fakta psikologi. Ia hanya dapat diterangkan dengan fakta sosial pula. Karena itu ahli psikologi telah diperingatkan pula untuk tidak terlallu lama membuang waktu dengan mencoba menyelidiki fakta sosial karena fakta sosial adalah lapangan penyelidikan dari sosiologi.

 

POKOK PERSOALAN


Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah : fakta-fakta sosial. Secara garis besarnya fakta sosial terdiri atas dua tipe. Masing-masing adalah struktur sosial (sosial institution) dan pranata sosial. Sifat dasar serta antar hubungan dari fakta sosial inilah yang menjadi sasaran penelitian sosiologi menurut paradigma fakta sosial.
Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societies), system sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dsb.
Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial
  1. Nilai-nilai umum (common values)
  2. Norma yang terujud dalam kebudayaan atau dalam subculture
Norma dan pola nilai ini  biasa disebut institutopm atau disini diartikan dengan pranata. Sedangkan jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok dapat dibedakanm sering diartikan sebagai struktur sosial. Dengan demikian, struktur sosial dan pranata sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi menurut paradigma fakta sosial.

Bagi penganut paradigma fakta sosial, apakah mereka memusatkan perhatiannya kepada struktur sosial atau kepada pranata sosial, namun keduanya mereka pandang sebagai barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam bentuk material yang utuh dan kompleks. Perhatian utama penganut paradigma fakta sosial terpaut kepada antar hubungan antara struktur sosial, pranata sosial dan hubungan antara individu dengan struktur sosial serta antara hubungan antara individu dengan pranata sosial. Teori-teori sosiologi berbeda terminologi dalam mengkonseptualisasikan antar hubungan pranata sosial, struktur sosial dan individu ini. Perbedaan tersebut jelas terlihat dalam bahasan.

 

TEORI-TEORI

Ada bebarapa varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini, tetapi penulis hanya memberikan 2 teori saja. Masing-masing adalah :
  1. Teori fungsionalisme structural
  2. Teori konflik
Yang dominan adalah dua teori yang disebut mula-mula. Yang dibicarakan juga hanya kedua teori pertama itu yakni teori fungsionalisme structural dan teori konflik.

TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL

Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equilibrium)

TEORI KONFLIK

Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme structural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionalisme structural. Tokoh utama teori konflik adalah Ralp Dahrendorf.

Kalau menurut teori fungsionalisme structural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan maka menurut teori konflik malah sebaliknya. Masyarakat senantiasa dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangtan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya.

Kesimpulan penting yang dapat diambil adalah bahwa teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandangnhya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan.

 

METODE PENELITIAN PARADIGMA FAKTA SOSIAL


Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan intervieu dalam penelitian empiris mereka. Metode observasi umpamanya ternyata tidak begitu cocok untuk studi fakta sosial. Alasannya karena sebagian besar dari fakta sosialmerupakan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu (a thing_ yang nyata yang tidak dapat diamati secara langsung. Hanya dapat di pelajari melalu  pemahaman (intepretatif understanding). Selain itu metode observasi dinilai terlalu sempit dan kasar untuk tujuan penelitian fakta sosial. Metode experiment juga ditolak pemakaiannya alasannya karena terlalu sempit untuk dapat meneliti fakta sosial yang memang bersifat makroskopik.

Pemakaian metode kuesioner dan interview oleh para penganut paradigma fakta sosial ini sebenarnya mengandung suatu ironi sebab informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner dan interview banyak mengandung unsure subyektivitas dari si informan.

Terhadap kelemahan metode tersebut James Coleman (1970) mengajukan beberapa saran sbb. Pertama kelemahan kuesioner dan interview dapat diatasi dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang runtun secara rasional. Kedua dengan mengajukan pertanyaak ekpada individu tentang unit sosialnya sendiri. Dua cara ini merupakan cara terakhir untuk memperoleh informasi fakta sosial. Ketiga dengan menggunakan teknik sampling yang disebut coleman: "Snowball Sampling". Artinya menanyakan kepada anggota sampel siapa saja yang menjadi teman terdekatnnya. Selain dari itu dapat pula dipergunakan teknik sampling yang disebutnya :saturation samling, yakni dengan mengajukan pertannyaan sosiometrik dalam jumlah yang banyak. Terakhir dapat pula dilakukan sampling bertingkat (multi stage sampling).