Welcome to Supriyanto Blog

Kamis, 04 Juni 2015

ADA APA DENGAN ROHINGYA

ADA APA DENGAN ROHINGYA....????


Mari kita bersama merenung dan berpikirkan tentang pengungsi Rohingya agar kita tidak salah terka dan menebak sebenarnya sebab musabab apa yang terjadi dengan mereka dan bagaimana sejarahnya...??? Mari kita baca bersama dan disimak dengan seksama....



Kronologi
Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata Rohingya? Sebuah nama tempat? Atau seperti suatu suku? Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa “Rohingya” adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan bahasa yang digunakan orang-orang yang tinggal di daerah Arakan (Rakhine/Rohang), Myanmar. Adanya kemiripan dari segi  fonologi, bahasa Rohingya disinyalir berakar dari bahasa Cittagonian yang digunakan oleh penduduk Bangladesh. Hal ini berimplikasi pada dugaan terhadap asal suku penduduk Rohingya; sebagian sumber menyatakan bahwa penduduk Rohingya adalah penduduk asli Myanmar, sedangkan sebagian lain meyakini penduduk Rohingya adalah imigran Muslim yang berasal dari Bengal dan tinggal di Arakan saat masa penjajahan Inggris. Meski begitu, banyak pihak lebih condong ke pendapat kedua, karena secara linguistik, bahasa Rohingya berhubungan dengan bahasa yang digunakan orang Indo-Aryan di India dan Bangladesh, sangat berbeda dengan bahasa asli Myanmar yang berakar Sino-Tibetan. Eksistensi penduduk muslim Rohingya di Arakan sebenarnya sudah dimulai sejak abad kedelapan melalui proses perdagangan yang melibatkan kerjasama dengan penduduk Arab – menyebabkan keturunan Arab menjadi pelopor komunitas muslim di Myanmar. Sejarah mencatat bahwa perkembangan pesat penduduk muslim Rohingya terjadi pada rentang tahun 1891 (total 58.225 orang) hingga tahun 1911 (menjadi total 178.647 orang, hampir 3 kali lipat. red). Peningkatan pesat tersebut terjadi karena adanya migrasi massif dari penduduk Chittagong, India, akibat kebijakan upah buruh rendah yang terjadi di India selama masa kependudukan Inggris. Peningkatan penduduk tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1927, saat total penduduk muslim Rohingya mencapai sekitar 480.000 orang. Sebagaimana kita tahu, Myanmar adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha. Hal ini tentu saja menjadikan Arakan sebagai daerah dengan divergensi yang paling nyata di Myanmar. Meningkatnya jumlah penduduk muslim di Arakan lantas menjadikan konsentrasi antara kedua penduduk ini (Buddha dan Muslim) menempati titik dominasi yang sama. Ketegangan antara keduanya muncul kala perang dunia kedua. Pergantian kolonialisme oleh Jepang dan Inggris – menimbulkan kevakuman kekuasaan – berimplikasi pada ketegangan komunal dari pihak Buddha Rakhine maupun Muslim Rohingya. Inggris mempersenjatai penduduk muslim Rohingya, sedangkan Jepang mempersenjatai kaum Buddha Rakhine. Akibatnya, terjadi pembantaian besar-besaran antara kedua belah pihak, dan menyebabkan 62.000 penduduk muslim Rohingya migrasi ke Bengal dan ke Cittagong. Myanmar merdeka pada tahun 1948. Meski kondisi ketegangan antara kedua belah pihak masih ada, namun sejak 1962, komunitas Rohingya telah diakui sebagai suatu etnis asli dari Myanmar, bahkan memiliki perwakilan di parlemen dan di lembaga tinggi pemerintahan lainnya. Sayangnya, ini tak berlangsung lama. Sejak pemerintahan militer mengambil alih Myanmar pada tahun 1982, muncullah suatu peraturan pemerintah yang mendiskriminasi dan mendiskreditkan penduduk Rohingya. Mereka dicap sebagai “penduduk asing” dan kehilangan kewarganegaraan mereka. Junta-junta militer yang memerintah Myanmar selama hampir setengah dekade, sangat bergantung pada penduduk Buddha Myanmar dan Buddha Tervadha untuk memperkuat kekuasaannya, dan mendiskriminasi minoritas; tak hanya muslim Rohingya, namun juga mendiskriminasi etnis Cina, Kokang, dan Patthay (muslim Cina). Sejak 2005, UNHCR (United Nation High Comissioner of Refugees) membantu para penduduk muslim Rohingya untuk melakukan repatriasi ke kamp-kamp pengungsian. Namun, rencana ini mendapat hambatan karena adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia di kamp-kamp pengungsian itu sendiri. Belum lagi para penduduk Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh, sekarang mereka mengalami masalah karena jumlah yang terlalu banyak dan tidak lagi mendapatkan dukungan pemerintah disana.


Konflik Myanmar 2012
Di tengah ketegangan politik yang sedang berlangsung, pada tanggal 28 Mei 2012, seorang wanita Rakhine bernama Ma Thida Htwe dibunuh setelah diperkosa oleh sekelompok orang pria. Para penduduk lokal mengklaim bahwa pelaku hal tersebut adalah Muslim Rohingya. Polisi pun menahan para terduga sebanyak 3 orang di penjara Yanbye. Namun, pada 3 Juni 2012 segerombol orang menyerang sebuah bus di daerah Tangup yang dikira membawa pelaku perkosaan tersebut. Akibatnya, 10 muslim terbunuh dari penyerangan tersebut yang memancing protes dari Muslim Myanmar secara keseluruhan. Sepanjang Juni 2012, ketegangan antara kedua belah pihak (Muslim Rohingya dan penduduk Buddha di Rakhine) semakin memuncak. Hal ini berimplikasi pada terjadinya kekacauan di daerah Rakhine itu sendiri. Keadaan semakin memburuk saat pemerintah Myanmar menetapkan status darurat bagi daerah Rakhine tanggal 10 Juni 2012, yang mana pemerintah melegalkan pihak militer Myanmar untuk menggunakan senjata demi mengontrol massa yang dinilai mengganggu nilai-nilai demokrasi. Meskipun begitu, kekerasan tidak berhenti. Terhitung  tanggal 14 Juni, pemerintah Myanmar mengklaim bahwa dalam peristiwa ini, 29 orang tewas (16 Muslim dan 13 umat Buddha ), diperkirakan 2500 rumah rusak dan 30.000 orang terpaksa pindah dari rumah mereka. Dalam kurun waktu 15-28 Juni, ratusan penduduk Rohingya melewati perbatasan Bangladesh. Akan tetapi, sebagian besar di antaranya banyak yang harus dipaksa kembali ke Myanmar. Para penduduk Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh ini menyatakan bahwa tentara dan polisi Myanmar menembaki sekumpulan penduduk setempat. Mereka menyatakan bahwa mereka takut untuk kembali ke Myanmar saat Bangladesh menolak mereka sebagai pengungsi dan meminta mereka untuk kembali ke negaranya. Pada tanggal 28 Juni, pemerintah Myanmar menyatakan bahwa total kematian pada kasus ini mencapai 80 orang, sedangkan total penduduk yang terpaksa pindah mencapai 90.000 orang.

Pemerintah Myanmar juga menahan 10 orang pekerja dari UNHCR (United Nation High Comissioner of Refugees) dan menjatuhkan hukuman pada tiga diantaranya karena dianggap ikut memancing kerusuhan. Antonio Guterres, perwakilan UNHCR, akhirnya mendatangi Yangon dengan maksud untuk bernegosiasi dengan pemerintah untuk melepaskan pekerja tersebut. Namun, Presiden Myanmar, Thein Sein, mengatakan bahwa ia hanya akan mengizinkan pelepasan 10 pekerja tersebut jika PBB mampu membantu perpindahan 1.000.000 penduduk Muslim Rohingya ke Bangladesh maupun ke negara lainnya. PBB menolak permintaan Sein tersebut. Pada bulan Oktober 2012, kerusuhan antara Muslim dan Buddha Rohingya pecah kembali. Kerusuhan tersebut bermula di kota Min Bya dan Mrauk Oo, yang kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya di Rakhine. Tak hanya melibatkan muslim Rohingya, muslim dari etnis-etnis lain pun melaporkan bahwa mereka juga menjadi target kekerasan. Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa 80 orang terbunuh, dan lebih dari 4600 rumah terbakar. Hal ini mengakibatkan jumlah penduduk yang terpaksa harus meninggalkan rumah mereka pun mencapai 100.000 penduduk. Kasus ini telah menarik perhatian dunia untuk turut andil dalam membela hak-hak manusia yang terdiskreditkan, dan turut serta menyoroti tentang apa yang sebenarnya terjadi. Di awal November, sebuah organisasi bernama “Doctor Without Borders” melaporkan bahwa di Rakhine banyak tersebar pamflet dan poster yang mengancam para pekerja kesehatan yang membantu Muslim Rohingya. Hal ini menyebabkan banyak pekerja lokal yang akhirnya memutuskan untuk berhenti.


Kini
Sejak kunjungan menteri luar negeri Turki, Ahmet Davotoglu pada Maret lalu, Muhammad Idris; ketua organisasi penyelamat El-Feyyadi di Myanmar,  mengatakan bahwa PBB maupun Organization of Islamic Cooperation (OIC) kembali menyoroti kasus Myanmar setelah sebelumnya sempat ‘tertutupi’ oleh kasus-kasus dunia lainnya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kunjungan tersebut membuat pemerintah Myanmar menjadi lebih ‘hati-hati’ dalam bertindak. Human Rights Watch sebagai organisasi pemerhati hak-hak asasi manusia di tingkat internasional juga mengeluarkan laporannya pada 22 April 2013 lalu yang berjudul “All You Can Do is Pray; Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Arakan States” sejumlah 153 halaman yang menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan Rohingya sejak 2010 lalu. Human Rights Watch juga meminta  pemerintah Myanmar untuk menghapuskan poin diskriminasi pada UU kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 dan memastikan anak-anak Rohingya memiliki status kewarganegaraan yang jelas.


Refleksi
Apa yang terjadi di Myanmar saat ini bisa jadi mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Ya, barangkali masih segar di dalam ingatan kita tentang Orde Baru dan kejadian-kejadian yang muncul selama pemerintahannya. Bermula dari peristiwa G30S/PKI, berlanjut ke naiknya rezim Suharto dan menyusul ke diskriminasi atas kaum Tionghoa maupun para keturunan G30S/PKI, yang mencapai puncaknya pada tahun 1998. Hal ini menyebabkan ribuan etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia harus berpindah negara-negara lain, atau pulang ke Cina. Kasus ini boleh saja dikatakan analog, saat akhirnya militerianisme menjadi ‘senjata’ pemerintah dan akhirnya kehilangan fungsinya – tak lagi melindungi rakyat, tetapi melindungi pemerintah. Pelanggaran HAM tidak lagi menjadi suatu yang mestinya dipersalahkan, malah akhirnya dijadikan sebagai justifikasi pemerintah atas kekuasaannya. Sebagai negara yang secara historis-geografis berada dekat dengan Myanmar, ditambah fakta bahwa Indonesia adalah salah satu negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, maka sudah selayaknya pemerintah Indonesia menunjukkan sikapnya di dunia Internasional atas kasus di negara Myanmar ini. Salah satu langkah diplomatis yang bisa kita lakukan adalah dengan membantu mediasi antara pihak pemerintah Myanmar dengan muslim Rohingya, atau mengumpulkan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya untuk turut serta membantu mencari jalan terbaik atas penyelesaian kasus ini. Kasus ini perlu untuk segera diselesaikan, karena yang saudara-saudara kita di Rohingya butuhkan saat ini bukan hanya berupa makanan maupun obat-obatan, melainkan pula kepastian mengenai status mereka di hadapan hukum, bahkan kepastian untuk bisa hidup, selayaknya manusia.