SUKU DAYAK PENJAGA PATOK PERBATASA RI - MALAYSIA
SUKU DAYAK PENJAGA PATOK NEGARA DI KECAMATAN ENTIKONG DAN SEKAYAM
Menurut para ahli, penduduk yang tinggal di daerah perbatasan adalah
suku Dayak yang secara umum terbagi menjadi dua bagian yaitu suku Dayak
Bidayuh dan suku Dayak Iban. Suku Dayak Iban banyak mendiami di Serawak,
sedangkan suku Dayak Bidayuh sebagian berada di wilayah Sanggau
bermukim di sepanjang sungai Sekayam dan sebagian lagi bermukim di anak
sungai Sekayam. Sedangkan suku Dayak Bidayuh memiliki sub-sub suku
sebagai berikut: 1. Dayak Sikukng, atau sering disebut dengan sub suku
Dayak Sungkung, adalah kelompok masyarakat Dayak yang bermukim di
Kecamatan Entikong menempati 2 kampung yaitu Pool dan Senutul. Selain
itu ada yang bermukim di Kabupaten Bengkayang. Sedangkan bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi adalah Bahasa Begais, walaupun mereka
terpencar di dua kabupaten yang berbeda dan negara yang berbeda mereka
berasal dari satu nenek moyang yang sama. 2. Dayak Badat, wilayah
pemukiman sub suku Dayak Badat ada dua yaitu wilayah Serawak dan wilayah
Kecamatan Entikong, walau demikian penduduk ini berasal dari satu nenek
moyang yang sama. Yang bermukim di Serawak berada di Kampung Tringgos
sedang yang bermukim di Kecamatan Entikong menempati dua kampung yaitu
Badat Lama yang berada di puncak gunung dan Badat Baru yang berada di
lereng gunung. Sebelum dibukanya SDN No 14 Badat kedua kampung ini
berada pada satu tempat yang sama yaitu Badat. Jarak kampung Badat Lama
dan Badat Baru dengan ibu kota kecamatan Entikong kurang lebih 40 km
akan tetapi waktu yang diperlukan untuk menuju kampung ini kurang 12 jam
dan satu-satu sarana transportasi yang digunakan adalah sungai Sekayam
dan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Ais. 3. Dayak Gun, sub suku
Dayak Gun juga bermukim di perbatasan Serawak. Mereka tinggal di dua
kampung yaitu Gun Jemak dan Gun Tembawang, selain itu penduduk sub suku
ini banyak juga yang tinggal di wilayah Serawak tepatnya di Kampung
Sepit. Walau mereka tinggal di dua negara yang berbeda akan tetapi
mereka juga berasal dari satu nenek moyang yang sama. Sub suku Dayak Gun
yang bermukim di Sepit berasal dari Gun Tembawang yang melakukan
migrasi. Bahasa yang digunakan oleh sub suku Dayak Gun adalah Bahasa
Bedagik. Kegiatan penduduk Dayak yang tinggal di Gun Jemak dan Gun
Tembawang adalah berdagang, mata uang yang digunakan untuk transaksi
memakai mata uang Ringgit Malaysia. Informasi yang diterima dua suku ini
lebih banyak berasal dari negara tetangga dari pada informasi bangsa
sendiri. Sebagai ciri khas untuk membedakan dengan sub suku lain adalah
alat yang digunakan untuk merokok, terbuat dari pipa bambu dengan ukuran
sedang yang disebut dengan pipa pengudut. 4. Dayak Sekajang,
berdasarkan informasi sub suku Dayak Sekajang berasal dari Semuh yang
berada di Serawak. Sub suku Dayak ini tinggal di hulu bantaran Sungai
Sekayam yaitu di Kampung Sekajang yang berada di Kecamatan Entikong.
Sedangkan yang tinggal di Serawak, Malaysia berada di Pedawan karena
faktor pernikahan. Bahasa yang digunakan sering disebut sebagai Bahasa
Senggau, peristiwa ini berawal dari terjadi pemerkosaan dan pembunuhan
yang dilakukan oleh Payebung dari Serawak, dan pada akhirnya Payebung
dimutilasi oleh orang Semuh. Untuk selanjutnya keluarga Payebung
melakukan pembalasan melalui tipu muslihat dengan menggunakan kotoran
manusia. Oleh karena bau kotoran manusia tersebut terjadi dimana-mana
orang Semuh ini menutup hidung sehingga suaranya menjadi senggau dan
akhirnya melakukan migrasi ke Sekajang yang sekarang ini, peristiwa ini
terjadi ketika suku Dayak melakukan ngayau pada jaman dahulu. Di
Sekajang terdapat panca yaitu bangunan yang digunakan untuk menyimpan
benda-benda hasil mengayau, salah satunya adalah tengkorak manusia.
Panca yang terdapat di Sekajang merupakan panca yang paling tua usianya
jika dibandingkan dengan panca yang terdapat di Sontas dan Pengadang. 5.
Dayak Mugut, sub suku Dayak ini berasal dari nenek moyang yang sama
dengan sub suku Dayak Sekajang karena faktor perkawinan sehingga adat
istiadatnya tidak jauh berbeda. Penduduk sub suku ini menempati dua
kampung yaitu Suruh Tembawang dan Suruh Engkadok. Bahasa yang digunakan
oleh sub suku Dayak Mugut adalah Bahasa Beais yang sering disebut
sebagai Bahasa Bisulu. Bi Qiu adalah kampung asal usul orang Suruh
Tembawang sebelum mereka disuruh pergi oleh orang Sekajang, karena
mereka disuruh pergi meninggalkan tempat yang oleh masyarakat setempat
diistilahkan tembawang, maka mereka disebut suruh tembawang. Kampung Bi
Qiu yang ditinggalkan sekarang hanya tinggal tanah atau wilayah dan
sekarang menjadi milik orang Sekajang. Sub suku Dayak Mugut yang
bermukim di Serawak menempati Kampung Sader. 6. Dayak Empayeh, sub suku
Dayak Empayeh adalah salah satu sub suku Dayak yang bermukim di hulu
Sungai Sekayam, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau yang menempati
tiga kampung yaitu Palapasang, Mangkau dan Entabang. Sedangkan bahasa
yang digunakan untuk berkomunikasi adalah Bahasa Benyap dan masih
mempunyai hubungan kekerabatan dengan Dayak Empayeh yang tinggal di
Serawak yang tinggal Tepoi. 7. Dayak Merau, sub suku ini menempati di
kampung Merau yang berada di hulu sungai Sekayam. Untuk menuju ke
kampung dapat ditempuh dengan jalan darat dan jalan air. Karena jalan
darat terdapat jembatan yang putus maka satu-satunya untuk menempuh
kampung melalui Sungai Sekayam dengan lama waktu kurang antara 1 atau 2
jam karena arus serta gelombang tinggi, yang diakibatkan oleh riam
sungai. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Bahasa
Benyap atau Bedek. 8. Dayak Pontent, sub suku Dayak Pontent ini
menempati 4 kampung yaitu Ponti Kayan, Ponti Meraga, Ponti Tapau dan
Ponti Engkaras. Penduduk Dayak Pontent yang tinggal pada empat kampung
tersebut berasal dari nenek moyang yang sama sedang bahasa yang
digunakan sebagai alat komunikasi adalah Bahasa Bedek atau Benyap.
Penduduk yang tinggal di kampung Ponti Kayan tidak mau disebut sebagai
sub suku Dayak Pontent akan tetapi mereka lebih senang disebut dengan
suku Kayan karena tinggal di dekat aliran Sungai Kayan. Sub suku Dayak
Pontent ini tidak mempunyai kerabat yang tinggal di Serawak. 9. Dayak
Sontas, sub suku Dayak ini berasal dari satu keturunan yaitu Dayak
Gulik’g banyak tinggal di Kecamatan Beduai dan Kecamatan Entikong. Di
Kecamatan Entikong menempati beberapa kampung seperti Sontas, Semanget,
Sekunyit sedangkan di Kecamatan Beduai menempati kampung, Kubing,
Kelandang, Tokam, Pemodis dan Sungai Dangin. Bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi adalah Bahasa Bekadek. Sub suku Dayak Sontas ini ada yang
bermukim di Serawak tepatnya di Entubuh. Di Sontas juga terdapat
peninggalan hasil ngayau yang berupa panca. 10. Dayak Senangkat’n, sub
suku ini berasal dari Kujang Mbawang, Serawak. Persebaran Dayak
Senangkat’n di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau yang menempati
kampung Panga, Semeng, Peripin dan Rumit. Sedangkan yang bermukim di
wilayah Serawak, Malaysia berada di kampung Kujang Mawang, Kujang Sain,
Kujang Pelaman, Pangkalan Amo, Ri’ih, Serancong dan Daso. Sub suku Dayak
Senangkat’n khususnya yang bermukim di Panga mempunyai hubungan
kekerabatan yang sangat erat dengan yang bermukim di Serawak khususnya
di Kujang Mawang dan Kujang Sain, keduanya dipisahkan oleh Gunung Roan
yang dapat ditempuh selama 2 jam berjalan kaki melalui jalan tikus
karena tidak jalan khusus yang menghubungkan kampung-kampung tersebut,
sedangkan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bekaii. 11. Dayak
Kerambay, sub suku Dayak Kerambay yang bermukim di wilayah Kecamatan
Entikong berada di Kampung Nekan. Sedangkan yang bermukim di Kecamatan
Sekayam tinggal di kampung Segirau, Engkahan, Pesing, Entinuh, Entubah,
Raut Kayan, Mabah, Seka, Masa Selangai, dan Raut Muara. Sub suku Dayak
ini berasal dari satu keturunan sedangkan dalam berkomunikasi masyarakat
suku Dayak ini menggunakan Bahasa Kerambay. 12. Dayak Paus, sub suku
Dayak ini bermukim di pinggiran Sungai Sekayam menempati beberapa
kampung yaitu Paus, Kenaman, Lomur I, Lomur II, Pengadang dan Munyao.
Sub suku Dayak Paus ini merupakan penduduk asli di Kecamatan Sekayam.
Bahasa yang digunakan untuk komunikasi adalah Bahasa Paus. Di kampung
Pengadang terdapat panca sebagai salah satu bukti penghormatan sub suku
Dayak Paus kepada nenek moyangnya, seperti yang terdapat di Sekajang dan
Sontas. Panca yang terdapat di Pengadang didirikan pada tahun 1887 yang
didalamnya terdapat satu tengkorak dari raksasa yang tinggal dihutan,
puluhan tengkorak manusia dan benda-benda lain hanya ngayau. 13. Dayak
Sisakng, sebagian besar sub suku ini menempati di wilayah Kecamatan
Sekayam yang tersebar pada kampung-kampung seperti Bantan, Berungkat,
Entabai, Bungkang, Lubuk Sabuk, Lubuk Tengah dan Segumon. Sub suku Dayak
Sisakng yang tinggal di Bantan mempunyai hubungan kekerabatan yang
sangat kuat dengan suku Dayak Mapuk yang berada di wilayah Serawak,
Malaysia, dari 160 kepala keluarga sebanyak 12,5% atau 20 kepala
keluarga orang Bantan keluarganya berada di Mapuk. Kampung Mapuk terbagi
atas 6 kampung kecil yaitu Kecebe, Tante, Sadong, Trage, Daha dan
Terbat. Sedangkan kampung yang paling dekat dengan Bantan adalah Mapuk
Kecebe. Sub suku Dayak Sisakng yang tinggal Bantan merupakan suku
nomaden, kampung yang dihuni sekarang ini merupakan hasil perpindahan
yang keenam. Jalan tikus yang terdapat di daerah ini berjumlah 4 tempat
yaitu Bantan dengan Kujang Sain, Bantan dengan Mapuk, Bungkang dengan
Mapuk dan Lubuk Tengah dengan Mujat. Panjang jalan tikus tersebut kurang
lebih 12 km yang ditempuh dengan jalan kaki selama 2 atau 3 jam. Di
Bantan terdapat Kantor Imigrasi dan menurut M. Sukandi (warga Bantan)
jumlah pelintas batas yang melewati jalan tikus ini dalam setiap
minggunya mencapai 5-10 orang. Perbandingan tingkat kemakmuran dan
sejahteraan antara orang Bantan dengan Mapuk adalah 1 : 5, walaupun
demikian rasa nasionalisme orang Bantan cukup tinggi. Dari tahun
1920-1958 telah terjadi orang Mapuk membuat ladang sampai ke wilayah
Bantan. Selain di Bantan, sub suku Dayak Sisakng yang bermukim di
Segumon juga mempunyai kekerabatan yang sangat erat dengan dengan suku
Dayak di Serawak khususnya yang tinggal di Mongkos. 14. Dayak Iban, sub
suku Dayak Iban ini sering juga disebut sebagai suku Dayak Sebaro’, suku
Dayak Dedeh (Triana Wulandari, dkk. 96, 2009). Persebaran suku Dayak
ini menempati kampung seperti Perimpah, Tapang Peluntan, Guna Banir,
Sungai Tekam, Sungai Beruang, Tapang Sebeluh, Sungai Daun, Tapang
Engkabang, Miru’k, Malenggang dan Sungai Sepan yang mana semua kampung
tersebut berada di wilayah Kecamatan Sekayam, sedangkan bahasa yang
digunakan Bahasa Iban. Dalam perjalanan sejarah, orang Dayak di daerah
ini berkembang secara turun temurun menyebar dalam wilayah yang dihuni
sekarang dan bahkan sampai ke luar wilayah Serawak atau sebaliknya.
Persebaran ini banyak disebabkan oleh penjajahan Jepang, masyarakat yang
menentang Jepang diculik dan dibawa ke Mandor, ada juga yang pergi ke
daerah lain sementara mereka tidak mengetahui bahwa daerah tersebut
sudah berada di wilayah kekuasaan Inggris. Selain itu, karena terjadinya
peperangan antara Inggris dengan Jepang masyarakat Dayak yang tinggal
di Kujang Mawang dan Kujang Sain mengungsi ke wilayah yang sekarang
bernama Panga untuk menghindari korban perang. Setelah Indonesia
merdeka, letak perbatasan dikuatkan dengan dipasangnya tapal batas
negara, sehingga orang Dayak yang tinggal di daerah di Serawak tersebut
otomatis masuk sebagai bagian dari penduduk Serawak. Terdapat 10 sub
suku Dayak yang kampungnya langsung berdampingan dengan kampung suku
Dayak di Serawak, dan berasal dari satu nenek moyang yang sama yaitu
Sisakng, Sontas, Badat, Gun, Senangkat’n, Mugut, Sekajang, Sungkung,
Empayeh dan Iban. Dengan demikian sebagian suku Dayak memiliki hubungan
intens dengan suku Dayak Serawak, dalam bidang ekonomi, keagamaan,
kekerabatan, budaya dan kesenian hal dikarenakan mereka asal-usul nenek
moyang yang sama. Karena hubungan yang sangat intens ini menyebabkan
sebagian generasi muda mengajukan permohonan migrasi ke Serawak dan
terjadi hampir setiap bulan (Imran, Kepala Desa Suruh Tembawang dalam TV
One, Minggu 18 April 2010). Dengan kondisi seperti itu wilayah
perbatasan tidak hanya dilihat dalam perspektif geografis spasial,
tetapi juga harus dipandang dalam perspektif geografis sosial kultural .
Artinya, di wilayah perbatasan itu selalu ada masyarakat yang menghuni
dan melintasinya. Dengan perspektif demikianlah, muncul permasalahan
yang salah satunya adalah kesamaran kultural dengan batasan-batasan yang
ada (bersifat konvensional) telah mencair, hal ini terjadi karena
terdapatnya hubungan yang sangat intens melalui jalan setapak yang
dikenal dengan istilah jalan tikus, yang menghubungkan antara kedua
kampung yang terpisah secara geopolitik (perhatikan gambar 1). Jalan
tikus tersebut jumlahnya cukup banyak yaitu Gun Tembawang dengan Sepit,
Pala Pasang dengan Sadir, Mangkau dengan Tepoi, Entabang dengan Temong,
Peripin dengan Pangkalan Amu, Panga dengan Kujang Sain, Bantan dengan
Mapuk, Lubuk Tengah dengan Mojat, Segumon dengan Mongkos dan Sungai
Beruang dengan Lubuk Nimbung (Balai Ringin). Wilayah perbatasan
memperoleh makna yang baru sebagai konstruksi sosial dan kultural yang
tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial, dengan
demikian daerah perbatasan tidak lagi dipandang sebagai ruang geografi,
tetapi lebih sebagai ruang sosial budaya. Dengan perpekstif demikian,
batas negara tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda. Malah bisa
terjadi membelah etnisitas yang sama karena sejarah kebangsaannya yang
berbeda, sementara kedua suku memiliki kesamaan sukubangsa dan kultur.
Oleh karena itulah secara tidak sengaja, perilaku dan gaya hidup atau
sosio kultural yang diwujudkan masyarakat daerah perbatasan Indonesia
cenderung mencerminkan karakteristik sosio-kultural masyarakat daerah
negara tetangganya dan atau sebaliknya. Kadangkala bisa saja mereka
tidak tahu mana yang merupakan kultur milik daerahnya yang berada dalam
wilayah Entikong dan mana kultur yang milik Serawak. Artinya mereka
kurang menyadari dan memahami akan kultur daerahnya maupun kultur
bangsanya. Dalam konteks hubungan antara budaya daerah/nasional
Indonesia dan budaya negara tetangga, hal ini dapat mengakibatkan
identitas diri/budaya daerah/nasional bangsa Indonesia sebagai ciri satu
kesatuan negara dan bangsa akan memudar. Kondisi akan lebih
memprihatinkan apabila kerabatnya yang satu sukubangsa sangat bangga
akan jati dirinya sebagai bagian dari masyarakat bangsa negara tetangga.
Kondisi demikian semakin mempengaruhinya sebagai satu kesatuan suku
bangsa yang akan menjalar pada bentuk kesatuan bangsa negara tetangga
dengan kurangnya kesadaran akan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Apabila kondisi demikian tetap berlanjut sungguh memprihatinkan, karena
dapat muncul kecenderungan unsur-unsur budaya bangsa Indonesia menjadi
milik atau diserap menjadi budaya bangsa lain. Penduduk yang tinggal di
Entikong (Ibu Kota Kecamatan Entikong) dan Balai Karangan (Ibu Kota
Kecamatan Sekayam) sangat heterogen, yang terdiri dari komunitas
pendatang dan komunitas lokal yang semuanya hidup berdampingan dengan
rukun. Agama, yang dianut komunitas pendatang sebagian besar beragama
Islam, sedangkan komunitas lokal Dayak (Bidayuh) sebagian besar adalah
penganut agama Nasrani (Kristen, Khatolik). Mereka meninggalkan agama
dan kepercayaan awal yang dianutnya yaitu Hindu Kaharingan
(Koentjaraningrat, 1990), semenjak kaum misionaris masuk ke lingkungan
wilayahnya beberapa puluh tahun lalu. Antara komunitas pendatang dengan
komunitas lokal belum pernah terjadi konflik atau perpecahan. Artinya
antara mereka selalu menjaga dan memelihara kerukunan yang sudah ada
sejak dulu. Mereka tidak terpengaruh dengan fenomena yang dialami di
beberapa daerah di Kalimantan Barat dengan adanya serangkaian kerusuhan
dan konflik sosial. Walaupun kerusuhan dan konflik sosial juga terjadi
di Balai Karangan tepatnya pada tanggal 2 Pebruari 1997, (Herlan Artono,
45, 1998) dan lebih khusus lagi untuk Entikong peristiwa itu tidak
terjadi. Sebelum diberlakukannya penyeragaman pemerintahan lokal ke
dalam bentuk kelurahan dan dihapuskannya pemerintahan adat seperti:
Nagari, Mukim, Kampung, Marga, Kepasirahan, Banjar, Desa Adat, Wanua, di
seluruh Indonesia pada masa orde baru, organisasi masyarakat suku Dayak
telah mempunyai struktur organisasi kampung yang terdiri atas Kepala
Kampung dan Kebayan. Selain dari pada suku Dayak pada umumnya secara
turun temurun menjunjung tinggi adat istiadat sebagai warisan
lelulurnya, yang diurusi oleh Temenggung dan Ketua Adat. Semua adat dan
tradisi masyarakat suku Dayak tersebut berfungsi untuk mengatur dan
mengurusi masalah siklus hidup manusia dari kelahiran, perkawinan dan
kematian. Selain itu adat dan tradisi tersebut berfungsi untuk mengatur
tata kehidupan kehidupan bermasyarakat agar harmonis serta
pelanggaran-pelanggaran terhadap tata kehidupan sosial, organisasi adat
yang digunakan sebagai dasar dalam mengaktualisasikan hukum adat Dayak.
Hukum adat merupakan norma yang tidak tertulis yang diberlakukan kepada
semua etnis jika terjadi pelanggaran-pelanggaran tata kehidupan sosial
kemasyarakatan. Dengan demikian adat istiadat sudah terorganisir secara
baik. Semua adat tradisi suku Dayak tersebut baik yang bermukim di
Kecamatan Entikong dan Sekayam dengan yang bermukim di Serawak, Malaysia
mempunyai kesamaan dan kemiripan. Secara geografis wilayah Entikong
(gambar 2 dan 3) merupakan daerah pegunungan, perbukitan, dikelilingi
oleh hutan lebat, dengan suhu udara (28-32) oC serta banyak mengalir
sungai-sungai dan sungai yang terbesar adalah Sungai Sekayam. Sebagian
besar tanahnya adalah tanah merah yang mengandung gambut yang terdiri
dari: pertama, tanah sawah Tanah sawah yang ada (96,30 ha) merupakan
tanah sawah irigasi setengah teknis (65,90 ha) dan tanah sawah tadah
hujan, atau disebut juga sawah rendengan (5,07 ha). Kedua, tanah kering
(202,76 ha) yang terdiri dari tanah tegal atau kebun (187,55 ha), tanah
ladang/tanah huma (20.174,22 ha). Ketiga, tanah basah (50,69 ha),
keempat tanah hutan dengan luas kurang lebih 28.172,95 ha, kelima, tanah
perkebunan kurang jelas ada berapa ha, yang dapat diketahui tanah untuk
perkebunan swasta kurang lebih 1.733,56 ha dan tanah untuk keperluan
fasilitas umum. Kecamatan Entikong dengan ibu kota kecamatan Entikong
terdiri atas 5 desa yaitu, Desa Entikong dengan luas wilayahnya 11.092
ha dan jumlah penduduk 6.073 jiwa; Desa Semanget dengan luas wilayahnya
10.040 ha dan jumlah penduduknya 2.110 jiwa, Desa Nekan dengan luas
wilayahnya 6.255 ha dan jumlah penduduk 2.021 jiwa, Desa Pala Pasang
dengan luas wilayahnya 8.420 ha dan jumlah penduduk 1.017 jiwa, dan Desa
Suruh Tembawang dengan luas wilayahnya 14.882 ha dengan jumlah penduduk
2.795 jiwa. Terdapat kegiatan sosial ekonomi yang melibatkan kedua
masyarakat di Entikong dan Tebedu (Serawak), yang dikenal dengan istilah
SOSEK MALINDO dan tempat pelaksanaan kegiatannya secara bergiliran
setiap tahunnya. Bentuk kegiatannya yang sampai ke menyentuh masyarakat
kecil hanyalah kegiatan olahraga tradisional serta pesta seni budaya
lokal, sehingga kegiatan tersebut perlu untuk ditingkatkan agar dapat
menyentuh kehidupan masyarakat di kedua wilayah tersebut.