ADA APA DENGAN ROHINGYA....????
Mari kita bersama merenung dan berpikirkan tentang pengungsi Rohingya agar kita tidak salah terka dan menebak sebenarnya sebab musabab apa yang terjadi dengan mereka dan bagaimana sejarahnya...??? Mari kita baca bersama dan disimak dengan seksama....
Kronologi
Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata Rohingya? Sebuah
nama tempat? Atau seperti suatu suku? Mungkin tidak banyak yang tahu
bahwa “Rohingya” adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan bahasa
yang digunakan orang-orang yang tinggal di daerah Arakan
(Rakhine/Rohang), Myanmar. Adanya kemiripan dari segi fonologi, bahasa
Rohingya disinyalir berakar dari bahasa Cittagonian yang digunakan oleh
penduduk Bangladesh. Hal ini berimplikasi pada dugaan terhadap asal suku
penduduk Rohingya; sebagian sumber menyatakan bahwa penduduk Rohingya
adalah penduduk asli Myanmar, sedangkan sebagian lain meyakini penduduk
Rohingya adalah imigran Muslim yang berasal dari Bengal dan tinggal di
Arakan saat masa penjajahan Inggris. Meski begitu, banyak pihak lebih
condong ke pendapat kedua, karena secara linguistik, bahasa Rohingya
berhubungan dengan bahasa yang digunakan orang Indo-Aryan di India dan
Bangladesh, sangat berbeda dengan bahasa asli Myanmar yang berakar
Sino-Tibetan. Eksistensi penduduk muslim Rohingya di Arakan sebenarnya sudah
dimulai sejak abad kedelapan melalui proses perdagangan yang melibatkan
kerjasama dengan penduduk Arab – menyebabkan keturunan Arab menjadi
pelopor komunitas muslim di Myanmar. Sejarah mencatat bahwa perkembangan
pesat penduduk muslim Rohingya terjadi pada rentang tahun 1891 (total
58.225 orang) hingga tahun 1911 (menjadi total 178.647 orang, hampir 3
kali lipat. red). Peningkatan pesat tersebut terjadi karena adanya
migrasi massif dari penduduk Chittagong, India, akibat kebijakan upah
buruh rendah yang terjadi di India selama masa kependudukan Inggris.
Peningkatan penduduk tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1927, saat
total penduduk muslim Rohingya mencapai sekitar 480.000 orang. Sebagaimana kita tahu, Myanmar adalah negara dengan mayoritas
penduduk beragama Buddha. Hal ini tentu saja menjadikan Arakan sebagai
daerah dengan divergensi yang paling nyata di Myanmar. Meningkatnya
jumlah penduduk muslim di Arakan lantas menjadikan konsentrasi antara
kedua penduduk ini (Buddha dan Muslim) menempati titik dominasi yang
sama. Ketegangan antara keduanya muncul kala perang dunia kedua. Pergantian
kolonialisme oleh Jepang dan Inggris – menimbulkan kevakuman kekuasaan –
berimplikasi pada ketegangan komunal dari pihak Buddha Rakhine maupun
Muslim Rohingya. Inggris mempersenjatai penduduk muslim Rohingya,
sedangkan Jepang mempersenjatai kaum Buddha Rakhine. Akibatnya, terjadi
pembantaian besar-besaran antara kedua belah pihak, dan menyebabkan
62.000 penduduk muslim Rohingya migrasi ke Bengal dan ke Cittagong. Myanmar merdeka pada tahun 1948. Meski kondisi ketegangan antara
kedua belah pihak masih ada, namun sejak 1962, komunitas Rohingya telah
diakui sebagai suatu etnis asli dari Myanmar, bahkan memiliki perwakilan
di parlemen dan di lembaga tinggi pemerintahan lainnya. Sayangnya, ini
tak berlangsung lama. Sejak pemerintahan militer mengambil alih Myanmar
pada tahun 1982, muncullah suatu peraturan pemerintah yang
mendiskriminasi dan mendiskreditkan penduduk Rohingya. Mereka dicap
sebagai “penduduk asing” dan kehilangan kewarganegaraan mereka. Junta-junta militer yang memerintah Myanmar selama hampir setengah
dekade, sangat bergantung pada penduduk Buddha Myanmar dan Buddha
Tervadha untuk memperkuat kekuasaannya, dan mendiskriminasi minoritas;
tak hanya muslim Rohingya, namun juga mendiskriminasi etnis Cina,
Kokang, dan Patthay (muslim Cina). Sejak 2005, UNHCR (United Nation High Comissioner of Refugees)
membantu para penduduk muslim Rohingya untuk melakukan repatriasi ke
kamp-kamp pengungsian. Namun, rencana ini mendapat hambatan karena
adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia di kamp-kamp pengungsian itu
sendiri. Belum lagi para penduduk Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh,
sekarang mereka mengalami masalah karena jumlah yang terlalu banyak dan
tidak lagi mendapatkan dukungan pemerintah disana.
Konflik Myanmar 2012
Di tengah ketegangan politik yang sedang berlangsung, pada tanggal 28
Mei 2012, seorang wanita Rakhine bernama Ma Thida Htwe dibunuh setelah
diperkosa oleh sekelompok orang pria. Para penduduk lokal mengklaim
bahwa pelaku hal tersebut adalah Muslim Rohingya. Polisi pun menahan
para terduga sebanyak 3 orang di penjara Yanbye. Namun, pada 3 Juni 2012
segerombol orang menyerang sebuah bus di daerah Tangup yang dikira
membawa pelaku perkosaan tersebut. Akibatnya, 10 muslim terbunuh dari
penyerangan tersebut yang memancing protes dari Muslim Myanmar secara
keseluruhan. Sepanjang Juni 2012, ketegangan antara kedua belah pihak (Muslim
Rohingya dan penduduk Buddha di Rakhine) semakin memuncak. Hal ini
berimplikasi pada terjadinya kekacauan di daerah Rakhine itu sendiri.
Keadaan semakin memburuk saat pemerintah Myanmar menetapkan status
darurat bagi daerah Rakhine tanggal 10 Juni 2012, yang mana pemerintah
melegalkan pihak militer Myanmar untuk menggunakan senjata demi
mengontrol massa yang dinilai mengganggu nilai-nilai demokrasi. Meskipun
begitu, kekerasan tidak berhenti. Terhitung tanggal 14 Juni,
pemerintah Myanmar mengklaim bahwa dalam peristiwa ini, 29 orang tewas
(16 Muslim dan 13 umat Buddha ), diperkirakan 2500 rumah rusak dan
30.000 orang terpaksa pindah dari rumah mereka. Dalam kurun waktu 15-28 Juni, ratusan penduduk Rohingya melewati
perbatasan Bangladesh. Akan tetapi, sebagian besar di antaranya banyak
yang harus dipaksa kembali ke Myanmar. Para penduduk Rohingya yang
mengungsi ke Bangladesh ini menyatakan bahwa tentara dan polisi Myanmar
menembaki sekumpulan penduduk setempat. Mereka menyatakan bahwa mereka
takut untuk kembali ke Myanmar saat Bangladesh menolak mereka sebagai
pengungsi dan meminta mereka untuk kembali ke negaranya. Pada tanggal 28
Juni, pemerintah Myanmar menyatakan bahwa total kematian pada kasus ini
mencapai 80 orang, sedangkan total penduduk yang terpaksa pindah
mencapai 90.000 orang.
Pemerintah Myanmar juga menahan 10 orang pekerja dari UNHCR (United
Nation High Comissioner of Refugees) dan menjatuhkan hukuman pada tiga
diantaranya karena dianggap ikut memancing kerusuhan. Antonio Guterres,
perwakilan UNHCR, akhirnya mendatangi Yangon dengan maksud untuk
bernegosiasi dengan pemerintah untuk melepaskan pekerja tersebut. Namun,
Presiden Myanmar, Thein Sein, mengatakan bahwa ia hanya akan
mengizinkan pelepasan 10 pekerja tersebut jika PBB mampu membantu
perpindahan 1.000.000 penduduk Muslim Rohingya ke Bangladesh maupun ke
negara lainnya. PBB menolak permintaan Sein tersebut. Pada bulan Oktober 2012, kerusuhan antara Muslim dan Buddha Rohingya
pecah kembali. Kerusuhan tersebut bermula di kota Min Bya dan Mrauk Oo,
yang kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya di Rakhine. Tak hanya
melibatkan muslim Rohingya, muslim dari etnis-etnis lain pun melaporkan
bahwa mereka juga menjadi target kekerasan. Pemerintah Myanmar
menyatakan bahwa 80 orang terbunuh, dan lebih dari 4600 rumah terbakar.
Hal ini mengakibatkan jumlah penduduk yang terpaksa harus meninggalkan
rumah mereka pun mencapai 100.000 penduduk. Kasus ini telah menarik perhatian dunia untuk turut andil dalam
membela hak-hak manusia yang terdiskreditkan, dan turut serta menyoroti
tentang apa yang sebenarnya terjadi. Di awal November, sebuah organisasi
bernama “Doctor Without Borders” melaporkan bahwa di Rakhine banyak
tersebar pamflet dan poster yang mengancam para pekerja kesehatan yang
membantu Muslim Rohingya. Hal ini menyebabkan banyak pekerja lokal yang
akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Kini
Sejak kunjungan menteri luar negeri Turki, Ahmet Davotoglu pada Maret
lalu, Muhammad Idris; ketua organisasi penyelamat El-Feyyadi di
Myanmar, mengatakan bahwa PBB maupun Organization of Islamic
Cooperation (OIC) kembali menyoroti kasus Myanmar setelah sebelumnya
sempat ‘tertutupi’ oleh kasus-kasus dunia lainnya. Lebih lanjut, ia
mengatakan bahwa kunjungan tersebut membuat pemerintah Myanmar menjadi
lebih ‘hati-hati’ dalam bertindak. Human Rights Watch sebagai organisasi pemerhati hak-hak asasi manusia
di tingkat internasional juga mengeluarkan laporannya pada 22 April
2013 lalu yang berjudul “All You Can Do is Pray; Crimes Against Humanity
and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Arakan States” sejumlah 153
halaman yang menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan Rohingya sejak
2010 lalu. Human Rights Watch juga meminta pemerintah Myanmar untuk
menghapuskan poin diskriminasi pada UU kewarganegaraan Myanmar tahun
1982 dan memastikan anak-anak Rohingya memiliki status kewarganegaraan
yang jelas.
Refleksi
Apa yang terjadi di Myanmar saat ini bisa jadi mengingatkan kita pada
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Ya, barangkali
masih segar di dalam ingatan kita tentang Orde Baru dan
kejadian-kejadian yang muncul selama pemerintahannya. Bermula dari
peristiwa G30S/PKI, berlanjut ke naiknya rezim Suharto dan menyusul ke
diskriminasi atas kaum Tionghoa maupun para keturunan G30S/PKI, yang
mencapai puncaknya pada tahun 1998. Hal ini menyebabkan ribuan etnis
Tionghoa yang tinggal di Indonesia harus berpindah negara-negara lain,
atau pulang ke Cina. Kasus ini boleh saja dikatakan analog, saat akhirnya militerianisme
menjadi ‘senjata’ pemerintah dan akhirnya kehilangan fungsinya – tak
lagi melindungi rakyat, tetapi melindungi pemerintah. Pelanggaran HAM
tidak lagi menjadi suatu yang mestinya dipersalahkan, malah akhirnya
dijadikan sebagai justifikasi pemerintah atas kekuasaannya. Sebagai negara yang secara historis-geografis berada dekat dengan
Myanmar, ditambah fakta bahwa Indonesia adalah salah satu negara
berpenduduk muslim terbanyak di dunia, maka sudah selayaknya pemerintah
Indonesia menunjukkan sikapnya di dunia Internasional atas kasus di
negara Myanmar ini. Salah satu langkah diplomatis yang bisa kita lakukan
adalah dengan membantu mediasi antara pihak pemerintah Myanmar dengan
muslim Rohingya, atau mengumpulkan negara-negara berpenduduk mayoritas
muslim lainnya untuk turut serta membantu mencari jalan terbaik atas
penyelesaian kasus ini. Kasus ini perlu untuk segera diselesaikan, karena yang
saudara-saudara kita di Rohingya butuhkan saat ini bukan hanya berupa
makanan maupun obat-obatan, melainkan pula kepastian mengenai status
mereka di hadapan hukum, bahkan kepastian untuk bisa hidup, selayaknya
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar